Selasa, April 04, 2006

Bhusido

post under: grenengan


Korupsi yang sudah lama berjangkit di negeri tercinta ini, ternyata sudah menjadi penyakit kronis, berurat dan berakar dalam setiap sendi kehidupan kita, dan tidak datang begitu saja. Hal itu terjadi karena proses belajar dan praktek yang telah dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Percaya atau tidak, korupsi adalah hasil belajar seseorang dan kemudian diajarkannya lagi kepada orang lain. Begitu seterusnya sehingga korupsi ada di mana-mana

Salah satu teori penyebab terjadinya suatu tindak kejahatan, sebagaimana dimuat dalam Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) Manual section Criminology, yaitu Social Learning Theory menjelaskan bahwa perilaku kriminal akan timbul manakala manusia menyerap informasi, pandangan, dan motivasi dari orang-orang dekat di sekitarnya. Para ahli penganut teori ini percaya bahwa setiap orang berpotensi untuk melakukan tindak kejahatan jika selalu dihadapkan pada persoalan kriminal.

Menurut Kwik Kian Gie (2003), salah satu penyebab terjadinya korupsi adalah karena kurangnya kesejahteraan yang dapat diperoleh jika cuma mengadalkan gaji bersih (net take home pay) saja. Termasuk juga dalam Sistem Penggajian (Salary Sistem) PNS yang masih semrawut, sehingga menurut Kwik, hanya cukup untuk hidup selama dua minggu saja.

Disamping hal-hal diatas, sikap permisif dan lemahnya hukum juga memperkuat keinginan untuk melakukan korupsi. Pada awalnya barangkali hanyalah usaha coba-coba dengan skala yang kecil, tapi ternyata setelah percobaan yang pertamanya berhasil dan tidak ketahuan diulangilah perbuatan itu kembali. Atau walaupun ketahuan ternyata hukuman yang diberikan pun tidaklah begitu berat, sehingga kecenderungan untuk mengulanginya lagi sangat besar.
Atau barangkali bisa juga dirumuskan asal usulnya dalam pola yang agak berbeda sebagai berikut :

1. Penyelewengan yang kemudian tertanam sebagai kebiasaan yang dapat ditolerir;
2. Kurang kesejahteraan (gaji yang kecil);
3. Kurangnya nilai pengawasan dan hukuman;
4. Naluri untuk memperkaya diri sendiri.

Barangkali kita boleh menengok ke negara Jepang yang telah terbukti sebagai negara maju. (Kalau ini cerita dari teman saya yang kuliah di Jepang). Masyarakat Jepang sangat menjujung semangat Bushido (jadi ingat The Last Samurai). Mereka sangat profesional dalam hal mengabdi kepada masyarakat. Di setiap sudut pusat-pusat keramaian Polisi selalu siaga dalam tugasnya. Petugas (polisi, satpam, PNS terutama yang melayani publik secara langsung) sangat profesional. Mereka ramah dan taat pada jam kerja. Mereka akan dengan ramah melayani kepentingan masyarakat. Tidak ada "uang rokok", tampa embel-embel, hanya karena itu adalah bagian dari tugas mereka. Di Indonesia (khususnya Jawa yang bagian tengah), ada juga budaya semacam itu, tapi sifatnya lebih kepada tatanan adab sopan santun, atau lebih dikenal dengan istilah ewuh pekewuh. Perilaku tersebut bisa terlihat pada misalnya pada perdebatan ala Jawa yang sering terjadi di pasar-pasar sebagai berikut : “ Lha njenengan niku dos pundi to? Ngajak gelut nggih? Menawi bade mlampah mbok nggih soconipun dipun pasang!! ” , terjemahan bebasnya: “ Lha kamu ini gimana? Ngajak berantem ya? Kalau jalan itu matanya dipasang!!” (ngajak berantem saja masih memakai Kromo Alus)

Orang Jepang memang sekuler. Mereka lahir Shinto, kawin secara Kristen, meninggal secara Budha (kremasi). Kita di Indonesia yang mayoritas penduduknya Islam, setiap Ramadhan televisi menyiram rohani umat tak henti-henti, pakai kuis segala, dan ada hadiahnya. Malah, sekarang buming filem-filem bertemakan “Illahi, Takdir, Adzab” semakin marak dan laris laiknya kacang goreng.

Di Jepang sedikit kemungkinan hal-hal seperti itu terjadi (lagi-lagi kata teman). Masyarakat Jepang lebih mengutamakan pada sistem untuk ditaati bersama, terapkan sanksi secara tegas bagi yang melanggar, berikan publik/masyarakat hak mereka, bukan karena ini dan itu tapi karena mereka taat membayar pajak, dan untuk itulah mereka layak untuk dilayani sampai puas.

Dari sana kita bisa mengambil pelajaran yang kemudian bisa untuk kita jadikan alternatif solusi. Point – point itu adalah sebagai berikut :
  1. Bersama-sama kita ciptakan sistem yang kemudian kita taati bersama-sama.
  2. Tanamkan pengertian bahwa korupsi adalah sejahat-jahat perbuatan (the root of all evils), korupsi adalah sumber dari segala permasalahan yang mencuat dalam segala bidang.
  3. Harus didorong terciptanya kesadaran umum (public awareness), tentang korupsi, apa bahayanya, tanda-tanda korupsi, dampak dan konsekuensinya.
  4. Tindakan yang tegas kepada yang melakukan pelanggaran dalam bentuk apapun dan penghargaan untuk yang berprestasi dalam bentuk apapun.

SKSC, korupsi memang hal yang sudah mengakar dan akan memakan terlalu banyak waktu dan pikiran. Hal ini disebabkan sudah lamanya hal ini terlaksana, ibaratnya rumput akarnya sudah terlalau dalam. Untuk itu, dibutuhkan pemahaman yang sungguh-sungguh dari setiap orang akan buruknya perilaku korupsi. Anggapan bahwa penyelewengan dana walaupun “kecil-kecilan” adalah hal yang sudah “biasa“, harus dirubah. Ingatlah, setitik-demi setitik lama-lama menjadi bukit, bukit keborokan. Tanamkan bersama-sama dalam benak setiap individu bahwasannya corruption is worst, don’t do it (korupsi sangat buruk, jangan lakukan).

Comot sana-comot sini (kocobenggolo bwat diri sendiri) dari :
  1. Kwik Kian Gie, 2003. Pemberantasan Korupsi untuk Meraih kemandirian,Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan.
  2. Nanang Priyatna, SE, CFE . Belajar dari Korupsi untuk Tidak Korupsi
  3. Imel sana-imel sini

Tidak ada komentar: