Selasa, Maret 14, 2006

The man who called Rambat

post under: opini

Ketika saya masih kecil, di kalangan teman-teman terkenal sosok manusia yang akrab dipanggil rambat.  Entah dari mana asal-usul kata rambat ini, yang jelas Rambat ini adalah semacam manusia gelandangan yang kemana-mana telanjang.

Kesannya dekil, lusuh, jorok dan yang jelas, dia bugil. Bukan bule gila, karena rambat bukan bule.  Jawa tulen. Nama Rambat sering dipakai oleh anak-anak tuk mengolok-olok teman yang lain.  “ Hi, seperti rambat kamu” begitu misalnya.  Ya, karena lusuh, kumuh jorok, anak yang diolok biasa dikata-katai dengan sebutan rambat.Dan saya yakin, orang dewasa pada masa itu pun sama kesannya dengan anak-anak pada masa itu.    Anak-anak yang notabene sekarang sudah pada gede-gede, yang mengerti apa piktor (aka: pikiran kotor/ngeres).  Bahwasannya Rambat itu kumuh, tapi bukan porno.  

Bandingkan kalau kita melihat foto model terkenal dengan busana yang tipis meliak-liuk di tepi pantai, dengan tatapan yang centil menatap lensa kamera, menatap anda di layar televisi.  Apa yang anda pikirkan? Entahlah, barangkali sama dengan saya, syurrr.  Imajinasi melayang kemana-mana.  Dari ujung kulon sampai banyuwangi barangkali.   Dari sunan kuning sampai vila bandungan atau entah mana lagi.  Atau hotel barangkali? No hp?

Subtitusi si foto model adalah sebuah angkutan umum (komoditas).   Bayangkan juga RUU APP sebagai rambu lalu-lintas.  Bayangkan rambat adalah sebuah mobil pribadi.  Subtitusi televisi, koran,  vcd dan segala media yang dipergunakan sebagai sarana adalah jalannya.  Ok, sekarang bayangkan bahwa di jalan itu ada perboden/rambu lalu-lintas ( entah bahasa aslinya apa, forbiden?).  Perboden itu bertuliskan “ UMUM (disetrip)”.  Nah, sekarang renungkan, masuk akal tidak?  Atau malah, ngga  nyambung ya..??

Pikirkan juga, jika anda punya saudara, anak, sepupu, kakak, atau adik.  Dan dia adalah si foto model yang terkenal itu, relakah anda?  Dari lubuk hati yang paling dalam?  Kalau saya pribadi, ngga rela.  Mungkin,  begitulah yang sedang dilakukan pemerintah.   Memasang rambu-rambu.  Bertindak sebagai orang tua, saudara, kakak, adik, atau mungkin teman barangkali.  Merasa bertanggungjawab terhadap laju moral bangsa. Paling tidak sudah ada yang merasa bertanggung jawab.

Saya sebagai seorang muslim, punya rambu-rambu tersendiri mengenai batas-batas kepornoan.  Bukan porno mungkin istilahnya, lebih tepatnya adalah aurat area. Saya yakin, anda yang muslim sudah mengetahuinya juga. Dan (mungkin) juga agama-agama lainnya. Cuma masalahnya,  kalau saya sedang nonton televisi lebih dari jam 12 malam, tanpa sengaja mencet channel salah satu televisi yang sedang menayangkan acara yang ‘syur’,  tetap saja saya tidak berdaya, pasrah.  Pasrah untuk tidak pindah channel tentunya.  Terlanjur.

Lepas dari kontroversi RUU APP, saya setuju jika yang porno-porno harus ada batasannya.  Cuma, kata porno inilah yang sulit dicari parameter dan difinisinya.  
Komoditas barangkali kata kuncinya.

Kembali ke Rambat. Saya sampai sekarang tidak tahu dimana keberadaan rambat. Tapi saya yakin, jika masih ada,  dia pastilah salah satu orang yang resah dengan adanya RUU APP.  Karena dia salah seorang yang selalu mempertontonkan bagian tubuhnya, yang  (mungkin) sensual.

Tidak ada komentar: